Aku menyilangkan kedua tanganku di belakang kepala. Cahaya
lampu taman menerobos masuk melalui jendela tak begorden – untuk suatu alasan
pribadi yang tidak terlalu penting –, membuat keadaan kamarku menjadi remang-remang.
Seharusnya aku sudah tidur sejak tadi seperti orang tuaku, namun entah mengapa
aku tidak bisa. Sungguh aneh, mengingat kemampuan tidur nyenyakku yang bahkan
tidak akan terganggu oleh gempa sekalipun.
Perasaan itu pun datang lagi, membuat perutku serasa
ditarik. Perasaan yang sangat familiar, terasa sangat menyenangkan sekaligus
sangat menyakitkan. Mengapa terasa familiar? Sebab aku sudah pernah
menrasakannya sebelumnya, dulu sekali. Dan itu bukanlah bertanda bagus.
Ah, ya ampun. Cepat sekali waktu berlalu.
Aku bangkit dan menghela nafas. Bosan juga rasanya
kalau terus memandangi langit-langit dan dinding yang ditempeli poster dari webcomic favoritku. Lagipula percuma jika aku memaksakan tidur. Sudah saatnya
aku bangun.
Kunyalakan lampu dan memakai kacamataku, terasa
lebih baik. Aku menoleh dan menatap pantulan diriku di cermin lemari. Rambutku
sangat berantakan, kusambar sisir dan merapikan rambutku. Aku bukan tipe wanita
yang terlalu memperhatikan penampilan, tapi aku sangat peduli dengan rambutku.
Tidak peduli pakaian apa yang kupakai, yang penting rambutku rapi.
Namun entah mengapa kali ini aku tidak ingin merapikan
rambutku. Oke aku memang menyisir, namun hanya sekedarnya. Aku langsung
meletakkannya di meja setelah kuanggap cukup.
Aku memandang keluar jendela. Jalanan terlihat sepi
dan berkabut, di luar jangkauan cahaya lampu taman terlihat sangat gelap. Tinggal
di sebuah rumah di lereng gunung terpencil bukanlah pilihan yang bagus, namun
aku mengerti. Bukanlah pilihan yang tepat untuk diam di satu tempat, terutama
jika kau telah melakukan hal yang buruk.
Sabarlah sedikit. Akan kuceritakan detailnya nanti,
saat waktunya tiba.
Kunyalakan HP-ku, hanya untuk melihat notifikasi
Twitterku yang membludak. Bahkan dengan membaca sekilaspun aku tahu itu
bukanlah pujian maupun dukungan, melainkan cemoohan dari teman- teman lamaku. Haruskah aku memanggilnya dengan sebutan "teman"? Terserah mau memanggilnya apa, intinya mereka murid
sekelasku di sekolahku dulu.
Cemoohan apa yang mereka tuliskan? Yah, sebangsa
“Pembunuh!”, “Psikopat jahanam!”,”Lacur” dll. Mereka terus saja mengirimkan
pesan itu sehingga aku bosan. Pernah terpikir untuk membuat akun baru, tapi apa
tujuannya? Agar tidak di cemooh lagi? Bah, alasan yang sangat menyedihkan.
Kutekan tombol “hapus” notifikasi, kubuka mp3 dan
mengenakan headset. Koleksi laguku kebanyakan instrumental rock. Namun aku tidak mood untuk mendengarkan lagu keras, jadi aku
memilih satu-satunya lagu berlirik di koleksiku, pilihanku ketika sedang
depresi, “Blue Lips”
He
stumbled into faith and thought
‘God,this
is all there is’
The
pictures in his mind arose
And
began, to breathe.
And
all the gods and all the worlds
began
colliding on a backdrop of blue
“Blue
lips... Blue veins...”
Aku bersandar ke dinding bawah jendela, bersenandung
lembut. Tak usah heran mengapa gadis penggemar lagu-lagu keras sepertiku bisa menyukai lagu emosional seperti ini. Jika kalian sudah
mengenalku pasti kalian akan mengerti. Dan sayangnya juga dengan rahasia
gelapku.
Kututup mataku, pendar biru itu muncul lagi di
bayanganku. Semakin lama membentuk gambaran pemuda ber-hoodie biru. Kepalanya
menunduk, tudungnya menutupi setengah wajahnya yang tersenyum puas. Kedua
tangannya berlumuran darah, beberapa tetes darah menghiasi hoodie birunya. Di
sekelilingnya bertebaran sosok-sosok hitam bermandikan warna merah.
Reaksiku yang seharusnya adalah menjerit ketakutan
dan meyakinkan itu adalah mimpi buruk, sama seperti waktu itu, tapi tidak.
Untuk apa aku menjerit? Untuk apa aku ketakutan? Seharusnya aku marah dan
menghajar orang itu, gara-garanya hidupku menjadi berantakan. Terkutuklah
diriku yang lemah ini.
Samar sama aku mendengar suara yang bukan merupakan
bagian dari lagu. Suara... jeritan? Makian penuh kata-kata kasar sebelum
jeritan dan hening?
Ah... kejadian itu terulang lagi ternyata...
Aku membuka mata. Pintu kamarku tidak pernah
terkunci. Ibu selalu mewanti-wantiku untuk selalu mengunci pintu, tapi selalu
kuabaikan. Maksudku, ayolah, untuk apa aku mengunci pintu? Tidak ada orang
berakal sehat yang sudi tinggal di gunung ini kecuali keluargaku. Maling?
Kujamin tidak akan ada. Ular? Nyamuk? Nah itu baru banyak.
Kecuali dia
sih...
Pintu kamarku terbuka. Aku terdiam, menatap sosok
itu masuk ke kamarku. Dia masih sama seperti yang kuingat. Hoodie biru dan
celana hitam serta senyum yang tak manusiawi. Matanya semerah darah kering yang
menghiasi hoodie dan pisau berkaratnya itu.
Dia tersenyum padaku yang kubalas dengan senyuman.
Senyum tipis yang dipenuhi dendam, senang dan juga kerinduan.
Lama tak bertemu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar