Minggu, 27 Desember 2015

Silent Night

Malam ini sangatlah tenang dan dingin. Tak ada hujan, angin maupun suara jangkrik yang merupakan ikonik malam hari itu. Disinilah diriku, terbaring di kasurku, menatap langit-langit kamarku yang gelap.


Aku menyilangkan kedua tanganku di belakang kepala. Cahaya lampu taman menerobos masuk melalui jendela tak begorden – untuk suatu alasan pribadi yang tidak terlalu penting –, membuat keadaan kamarku menjadi remang-remang. Seharusnya aku sudah tidur sejak tadi seperti orang tuaku, namun entah mengapa aku tidak bisa. Sungguh aneh, mengingat kemampuan tidur nyenyakku yang bahkan tidak akan terganggu oleh gempa sekalipun. 

Perasaan itu pun datang lagi, membuat perutku serasa ditarik. Perasaan yang sangat familiar, terasa sangat menyenangkan sekaligus sangat menyakitkan. Mengapa terasa familiar? Sebab aku sudah pernah menrasakannya sebelumnya, dulu sekali. Dan itu bukanlah bertanda bagus.

Ah, ya ampun. Cepat sekali waktu berlalu.

Aku bangkit dan menghela nafas. Bosan juga rasanya kalau terus memandangi langit-langit dan dinding yang ditempeli poster dari webcomic favoritku. Lagipula percuma jika aku memaksakan tidur. Sudah saatnya aku bangun.

Kunyalakan lampu dan memakai kacamataku, terasa lebih baik. Aku menoleh dan menatap pantulan diriku di cermin lemari. Rambutku sangat berantakan, kusambar sisir dan merapikan rambutku. Aku bukan tipe wanita yang terlalu memperhatikan penampilan, tapi aku sangat peduli dengan rambutku. Tidak peduli pakaian apa yang kupakai, yang penting rambutku rapi.

Namun entah mengapa kali ini aku tidak ingin merapikan rambutku. Oke aku memang menyisir, namun hanya sekedarnya. Aku langsung meletakkannya di meja setelah kuanggap cukup.

Aku memandang keluar jendela. Jalanan terlihat sepi dan berkabut, di luar jangkauan cahaya lampu taman terlihat sangat gelap. Tinggal di sebuah rumah di lereng gunung terpencil bukanlah pilihan yang bagus, namun aku mengerti. Bukanlah pilihan yang tepat untuk diam di satu tempat, terutama jika kau telah melakukan hal yang buruk.

Sabarlah sedikit. Akan kuceritakan detailnya nanti, saat waktunya tiba.

Kunyalakan HP-ku, hanya untuk melihat notifikasi Twitterku yang membludak. Bahkan dengan membaca sekilaspun aku tahu itu bukanlah pujian maupun dukungan, melainkan cemoohan dari teman- teman lamaku. Haruskah aku memanggilnya dengan sebutan "teman"? Terserah mau memanggilnya apa, intinya mereka murid sekelasku di sekolahku dulu.

Cemoohan apa yang mereka tuliskan? Yah, sebangsa “Pembunuh!”, “Psikopat jahanam!”,”Lacur” dll. Mereka terus saja mengirimkan pesan itu sehingga aku bosan. Pernah terpikir untuk membuat akun baru, tapi apa tujuannya? Agar tidak di cemooh lagi? Bah, alasan yang sangat menyedihkan.

Kutekan tombol “hapus” notifikasi, kubuka mp3 dan mengenakan headset. Koleksi laguku kebanyakan instrumental rock. Namun aku tidak mood untuk mendengarkan lagu keras, jadi aku memilih satu-satunya lagu berlirik di koleksiku, pilihanku ketika sedang depresi, “Blue Lips”

He stumbled into faith and thought
‘God,this is all there is’
The pictures in his mind arose
And began, to breathe.

And all the gods and all the worlds
began colliding on a backdrop of blue

“Blue lips... Blue veins...”

Aku bersandar ke dinding bawah jendela, bersenandung lembut. Tak usah heran mengapa gadis penggemar lagu-lagu keras sepertiku bisa menyukai lagu emosional seperti ini. Jika kalian sudah mengenalku pasti kalian akan mengerti. Dan sayangnya juga dengan rahasia gelapku.

Kututup mataku, pendar biru itu muncul lagi di bayanganku. Semakin lama membentuk gambaran pemuda ber-hoodie biru. Kepalanya menunduk, tudungnya menutupi setengah wajahnya yang tersenyum puas. Kedua tangannya berlumuran darah, beberapa tetes darah menghiasi hoodie birunya. Di sekelilingnya bertebaran sosok-sosok hitam bermandikan warna merah.

Reaksiku yang seharusnya adalah menjerit ketakutan dan meyakinkan itu adalah mimpi buruk, sama seperti waktu itu, tapi tidak. Untuk apa aku menjerit? Untuk apa aku ketakutan? Seharusnya aku marah dan menghajar orang itu, gara-garanya hidupku menjadi berantakan. Terkutuklah diriku yang lemah ini.

Samar sama aku mendengar suara yang bukan merupakan bagian dari lagu. Suara... jeritan? Makian penuh kata-kata kasar sebelum jeritan dan hening?

Ah... kejadian itu terulang lagi ternyata...

Aku membuka mata. Pintu kamarku tidak pernah terkunci. Ibu selalu mewanti-wantiku untuk selalu mengunci pintu, tapi selalu kuabaikan. Maksudku, ayolah, untuk apa aku mengunci pintu? Tidak ada orang berakal sehat yang sudi tinggal di gunung ini kecuali keluargaku. Maling? Kujamin tidak akan ada. Ular? Nyamuk? Nah itu baru banyak.

 Kecuali dia sih...

Pintu kamarku terbuka. Aku terdiam, menatap sosok itu masuk ke kamarku. Dia masih sama seperti yang kuingat. Hoodie biru dan celana hitam serta senyum yang tak manusiawi. Matanya semerah darah kering yang menghiasi hoodie dan pisau berkaratnya itu.

Dia tersenyum padaku yang kubalas dengan senyuman. Senyum tipis yang dipenuhi dendam, senang dan juga kerinduan.

Lama tak bertemu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar